Powered By Blogger

Kamis, 14 Oktober 2010

Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Islam

UPAYA PENGEMBANGAN LEMBAGA RISET AND DEVELOPMENT KEILMUAN DAN EKONOMI DI PESANTREN
Oleh : Muh.Syukron

A. Modernisasi Pengelolaan Pesantren
Pesantren dalam menghadapi perubahan dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya selaku institusi pendidikan keagamaan dan sosial. Pesantren harus membenahi kelemahannya diantaranya dengan peningkatan jiwa enrepreneuship santri melalui pengembangan lembaga riset and development keilmuan dan ekonomi.
Pengembangan lembaga ini sebagai wadah komunisikasi, dialog dan latihan serta pengabdian kemasyarakatan santri baik yang masih menempuh pendidikan maupun yang sudah menyelesaikan pendidikan serta para alumni yang telah mendapatkan pekerjaan di luar pesantren.
Lembaga ini menjadi salah satu pemikiran dari penulis dalam rangka menempatkan pesantren sebagai salau satu pusat peradaban muslim Indonesia. Dengan lembaga ini diharapkan lahir generasi-generasi baru pemikir, sekaligus pelaksana dari apa yang menjadi buah pemikirannnya. Hal ini sebagaimana sejarah Islam pertama hingga masa keemasan zaman umayyah dan abbasiyah yang melahirkan banyak ulama-ulama yang multi pengetahuan baik secara agama maupun umum.
Pemikiran ini berangkat dari konsep bahwa santri sebagai generasi penerus seperti peserta didik lainnya memiliki potensi dan bakat masing-masing dalam hal penguasaan pengetahuan yang sifatnya aplikatif. Jadi penulis memandang bahwa manajemen pengelolaan pendidikan yang berkeadilan dengan melihat potensi yang dimiliki masing-masing individu santri ini perlu mendapat perhatian serius.
Sebagaimana dalam tataran konsep tentang jiwa entrepreneuship yang melekat pada diri manusia yang memiliki potensi dan kemampuan. Potensi kemampuan yang dimiliki tiap individu dalam tingkatan pemahaman suatu ilmu memiliki perbedaan dari sisi gaya belajar dan modalitas belajar terhadap sesuatu yang baru. Proses inilah yang mempengaruhi secara intern intensitas belajar.
Pijakan inilah yang menjadi penawaran dalam pengelolaan pesantren ke depan untuk menggantikan pengelolaan manajemen pesantren yang selama ini merupakan ciri khas dari pemimpin pesantren dalam hal ini kiai kharismatik yang menjadi segala pijakan bagaimana pelaksanaan pesantren akan dilakukan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang dalam bahasa pendidikan disebut sebagai kurikulum menjadi visi, misi, tujuan dan aplikasi kegiatan keseharian.
Ciri khas dari pesantren yang menekankan kemandirian bagi santrinya, termasuk juga dalam menempuh jenjang penguasaan ilmu menurut penulis harus ditinjau ulang dengan sedikit perpaduan pengasahan dan penajaman tematik penguasaan ilmu yang ingin dikuasai dahulu dengan melihat syarat dan ko syarat dari ilmu yang akan dipelajari selanjutnya. Sebagaimana pandangan Imam Al-Ghzali bahwa dalam mengajarkan suatu ilmu kepada anak harus dimulai dari yang mudah menuju yang sukar. Dari penanaman akidah menuju kesadaran sosial.
Perkembangan pesantren sedikit lebih maju yakni telah banyak lahir berbagai pesantren yang disebut pesantren modern dengan memberikan pendidikan agama dan umum serta pengelolaan yang lebih modern dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam yang aplikatif seperti kedisiplinan tinggi dalam berbagai hal dan peningkatan kesadaran kebersihan di semua bidang, tidak seperti jargon pesantren dahulu yang berslogan “Kebersihan sebagian dari Iman”, namun jika dilihat di lihat di kamar tidur, kamar mandi dan sekitar tempat tinggalnya jauh dari kebersihan.
Fenomena ini lahir dari satu sebab pesantren belum memosikan diri secara penuh sebagai lembaga atau institusi yang disamping mendidik kepada santri-santrinya juga memberikan kontribusi pemikiran keilmuan yang menghasilkan suatu produk berupa konsep pengetahuan dalam bentuk tulisan, fatwa yang dibukukan sebagaimana sejarah masa lampau.
Sehubungan itu dalam rangka mengambil peran yang signifikan dalam percaturan kehidupan yang semakin kompleks ini pesantren dapat memanfaatkan sebagai lembaga yang mempunyai potensi besar dengan berkumpulnya pada ulama dari berbagai disiplin ilmu dan generasi muda yang haus akan pengetahuan difasilitasi suatu tempat dan forum tempat berkumpul bersama untuk membahas, menelaah, berdiskusi, berdebat dan meneliti perkembangan kilmuan yang ada.
Langkah ini dimulai dengan penawaran suatu pengembangan pesantren yang lebih kapabel, fleksibel dan kridibel melaui restrukturisasi pengelolaan pesantren. Penyusunan ulang ini diarahkan pada pengembangan pesantren dari sisi paradigma pendidikan pesantren, manajemen pesantren, sistem pendidikan pesantren dan kurikulum pesantren untuk dikembangkan lebih berkeadilan dengan orientasi pada peningkatan kemampuan santri.
1. Paradigma Pendidikan Pesantren
Pesantren diakui sebagai salah satu pendidikan keagamaan yang sudah kuat mengakar di masyarakat, hal ini terbukti dari sejarah yang melingkupinya dari sebelum kemerdekaan sampai sekarang masih dapat bertahan dan berkiprah di pentas nasional. Ini terjadi karena pesantren lebih simple dalam menggapai cita dan impiannya yakni sekedar memberikan pelajaran agama pada santri.
Paradigma pengelolaan pesantren yang ada walau secara konseptual tidak diwujudkan dalam bentuk teori dan kata, menurut penulis adalah “paradigma pragmatis keagaaman”. Artinya moto, visi, misi dan tujuannya simple pada pemberian satu keilmuan aplikasi syar’i ibadah mahdah dengan penguatan keilmuan bahasa arab dan kitab kuning. Sehingga dalam proses pengelolaan pendidikan dan pembelajarannya pun sangat praktis tergantung pemahaman dan pengetahuan yang dimili kiai yang memimpin pesantren.
Paradigma ini tidak salah, namun untuk menjadikan pesantren sebagai salah satu pusat peradaban dunia menjadi hal yang mustahil untuk diwujudkan sebab dari sisi tujuan yang ada pun lebih mengarahkan pada penguasaan secara indivualistik walaupun pesan-pesan sosial ada berupa tanggung jawab mengajarkan kepada masyarakat apa yang sudah diketahui.
Dalam rangka menjadi salah satu pusat peradaban muslim, pesantren dituntut peranannya yang lebih kompreherensif dan dinamis dalam menjawab problem ummat. Peranan yang selama ini dilakukan pesantren perlu mendapatkan peningkatan yang lebih baik dari peranan yang sifatnya individual perorangan menuju peranan yang komunal bersistematis. Artinya pesantren mengembangkan berbagai wadah, tempat dan forum yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan dalam memecahkan masalah dan mencari solusi yang selanjutnya dibuat dalam bentuk produk buku dan lain sebagainya.
Peranan ini dimulai dengan mengembangkan paradigma pengelolaan pesantren menuju pemikiran dan arah pendidikan yang sistematis berkesinambungan, dinamis dan kompreherensif. sistematis artinya arah pendidikan lebih disusun dalam tahapan-tahapan pencapaian yang tersusun dalam satu perencaan dan monitoring evaluasi yang baik. Berkesinambungan artinya, arah pendidikan dipadukan dengan berbagai perkembangan keilmuan yang terus berkembang tanpa membatasi diri pada satu keilmuan agama yang sifatnya individualistik, namun juga pada keilmuan agama yang sifatnya sosial. Dinamis artinya, arah pendidikan lebih inklusif, terbuka dan terus mobil tidak terjebak pada satu pemikiran mazhab saja namun dapat menelaah dan mengembakan pemikiran mazhab yang sudah ada sebab ia bukanlah ilmu harga mati yang tidak dapat dikritik. Kompreherensif artinya arah pendidikan lebih dikembangkan pada pembahasan perkembangan ilmu sebab pada dasarnya sumber ilmu itu satu yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang kemudian untuk memudahkan pembahasan di kelompokan dalam berbagai disiplin ilmu tersendiri dan tidak ada halal dan haram dalam ilmu sebab pada dasarnya semua ilmu muaranya menuju pada pengagungan sang khalik-Allah Swt.
Muara dari pemikiran arah pendidikan di atas menuju pada aplikatif keinsanan. Artinya term utama pengelolaa pendidikan apapun namanya baik sekolah, madrasah, pondok pesantren dan lain sebagainya berdasarkan pada akar filsafat aplikasi kesejatian manusia. Pendekatan ini penting dilakukan sebab dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran termasuk di pesantren subyek dan obyek yang ada adalah manusia serta unsur utama pendukung terjadinya proses adalah manusia baik statusnya sebagai pendidik maupun peserta didik. Kesejatian manusia sebagai “Abdullah dan Khalifatullah” yang keduanya tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dan merupakan kesatuan yang merangkai menjadi manusia muttaqin. Berangkat dari hal ini maka paradigma yang perlu dikembangkan oleh sebuah institusi pendidikan adalah melaihat hal ini. Inilah yang dinamakan “paradigma aplikatif keinsanan”.
Pesantren dalam menjalankan kegiatanya terlebih pesantren salaf yang berangkat dari kebutuhan pragmatis berupa menyalurkan ilmu yang sudah dipunya kiai terkadang tidak memikirkan seperti ini bahkan terlalu dianggap hanya membuang energi pemikiran yang penting tujuannya adalah dakwah dan tarbiyah tersampaikan. Sehingga dalam perjalanannya pun, sebuah pesantren akan memiliki arah yang berbeda-beda dari generasi satu ke generasi seterusnya. Lebih-lebih pada dasawarsa sekarang ini, ranah politik sudah masuk bahkan hadir di pesantren akan menjadikan satu warna tersendiri dalam perjalanan pembelajaran yang berlangsung. Bila hal ini terjadi maka arah pendidikan yang dilakukanya pun akan menjadi terhambat untuk bebas berfikir dan berbuat dikarenakan pesan-pesan sponsor dari kekuasan politik yang melingkupi.
Oleh karena itu dibutuhkan paradigma kritis dalam proses pendidikan. Yaitu paradigma yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang berpihak kepada peserta didik untuk mampu bangkit membangun kesadaran sosial, sehingga mampu bangkit untuk melakukan transformasi sosial. Pendidikan yang demikian ini harus dibangun relasi lingkungan dan penciptaan sistem prasarana penyelenggaraan pendidikan yang demokratis. Dalam sistem prasaran yang otoriter dan tidak demokratis, sulit bagi pendidik untuk memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah strategis terpeniting adalah menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatoris dalam pengembangan kurikulum, dan penciptaan ruang bagi proses belajar bagi perserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika demokratisasi pendidikan terjadi, maka akan melahirkan masyarakat yang otonom dan demokratis pula. Akhirnya masyarakat yang demokratis akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis.
Dibutuhkan peran pendidik (kyai, guru, tokoh masyarakat) sebagai local leader yang mampu menjadi pendidik-pendidik yang berjiwa kritis dan emansipatoris. Sehingga akan muncul komunitas-komunitas masyarakat yang kritis, otonom dan demokratis. Masyarakat yang terbebaskan dari belenggu-belenggu sistem yang menjajah, karena memiliki kesadaran diri dan mampu melawan sistem yang menjajah tersebut. Sehingga akhirnya akan terjadi proses transformasi sosial sebagai hasil dari proses pendidikan kritis yang membebaskan tersebut.
Untuk itulah dalam rangka mengembangkan pesantren yang dapat dirasakan perannya lebih bebas dan merdeka dalam menelurkan ide-ide, dan produk keilmuannya dikembalikan pada jalur pemikiran perencanaan yang sistematis berkesinambungan, dinamis dan kompreherensif dalam lingkup “paradigma aplikatif keinsanan”.
untuk sampai pada kemampuan mengatur penyelenggaraan dan pendidikan dengan baik di setiap satuan pendidikan tidak terkecuali pesantren diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur. Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah, Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya. Tahap Formalitas, ialah pesantren yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi ustadz, jumlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta jumlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building pesantren dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transisional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah umum yang telah ada dan dikorelasikan dengan pendidikan pesantren, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah. Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan ustadz , pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal. Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan pesantren sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu. Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:
a. Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.
b. Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.
c. Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel.
d. Sentralistik menjadi desentralistik.
e. Individual menjadi kerjasama
f. Basis birokratik menjadi basis professional
g. Diatur menjadi mandiri
h. Malregulasi menjadi deregulasi
i. Informasi terbatas menjadi informasi terbuka
j. Boros menjadi efisien
k. Pendelegasian menjadi pemberdayaan
l. Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal.(Tim, Setrategi Pengembangan Pendidikan Pesantren, http://qistoos.multiply.com/journal/item/15, 21 Feb 2008).
2. Manajemen Pesantren
Kebijakan dan program-program Departemen Agama dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bermutu mengacu pada tiga pilar pembangunan pendidikan nasional. Pada pilar pertama yaitu perluasan dan pemerataan akses, memberikan kesempatan kepada pesantren-pesantren untuk mengembangkan lembaga pendidikannya sehingga bisa menampung banyak santri (peserta didik), terutama dalam rangka menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Pada pilar kedua yaitu peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, menghasilkan lulusan pesantren yang setara dengan sekolah maupun madrasah, serta memiliki kemampuan-kemampuan seperti yang diatur oleh undang-undang tanpa mengurangi khittah asli pesantren. Khittah pesantren adalah santrinya mampu mendalami ilmu-ilmu keislaman. Santri di samping mendalami ilmu-ilmu keislaman kalau ingin disetarakan dengan lulusan sekolah atau madrasah, maka harus mengikuti kurikulum-kurikulum tertentu yang didalamnya terdapat keterampilan atau kemampuan yang harus dimiliki. Agar pesantren memperoleh pengakuan kesetaraan dengan lulusan madrasah atau sekolah diberikan sertifikat atau syahadah. Agar syahadah nanti diperoleh lulusan pesantresn diakui sama, maka bukan hanya kurikulum saja, tetapi standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah harus diikuti. Pilar ketiga yaitu peningkatan tata kelola, akuntabilitas, transparansi, dan pencitraan publik, pesantren jangan tergantung kepada orang tetapi kepada suatu sistem. Artinya, tidak tergantung kepada seorang kiyai yang biasanya menjadi pemimpin pesantren. Jika kiyai itu mundur atau meninggal, maka tidak ada penerusnya. Keadaan seperti ini akan menjadikan pesantren mengalami kemunduran. Namun jika tergantung pada sistem, hal seperti ini tidak akan terjadi, karena jika kiyai yang menjadi pengelola pesantren itu mundur atau meninggal, maka masih ada yang akan mengelolanya yaitu orang-orang yang sudah ditentukan. Oleh karena itu di pesantren pun diperlukan manajemen. Dalam manajemen ada ungkapan getting thing done threw to other, membuat sesuatu selesai melalui orang lain. Jadi kalau seseorang ingin membuat sesuatu itu selesai, bukan orang itu yang akan mengerjakannya tetapi orang lain. Kalau orang itu yang mengerjakannya, bukan manajemen namanya tetapi pekerja biasa.
3. Sistem dan Kurikulum Pendidikan Pesantren
Santri dari berbagai pondok pesantren dinilai kemampuannya bukan hanya di dalam membaca kitab kuning di dalam tingkatan pengetahuan saja, tetapi berbagai tingkatan seperti memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan apa yang tertulis dalam kitab-kitab kuning atau yang dituangkan oleh para pemikir Islam shalaf dalam kitab kuning itu. Pemahaman terhadap kitab kuning adalah kemampuan yang dimiliki santri di berbagai pondok pesantren khususnya pondok pesantren yang mengembangkan pendidikan salafiah karena itu pemahaman kitab kuning dianggap tolok ukur keberhasilan para santri di dalam menimba ilmu dalam pesantren.
Meskipun demikian, melihat perkembangan pesantren, meskipun pesantren salafiah tetapi tidak hanya mengembangkan, memahami kitab kuning saja tetapi memahami cabang-cabang ilmu pengetahuan termasuk kategori sains dan teknologi. Namun tetap saja pemahaman kitab kuning dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan santri di dalam menempuh pendidikan di pesantren bahkan ketika dia kembali ke masyarakat atau menjadi orang-orang yang membina pesantren biasanya itu menjadi tolok ukur di dalam menilai apakah kiayi atau ustadz yang sebetulnya. Lulusan pesantren itu menguasai ilmu agama atau tidak. . (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Para santri sesungguhnya dituntut memiliki kemampuan bukan hanya memahami kitab-kitab kuning tetapi juga menguasai dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekarang sedang berkembang sangat pesat. Dengan demikian kemampuan ini bisa memberikan manfaat kepada banyak orang. Biasanya seseorang di masyarakat ukuran kebaikannya dirujukan dari salah satu hadits yang menyatakan “sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang lain”. Kita bisa melihat kenyataan kiyai-kiyai zaman dulu. Dahulu kiyai-kiyai tidak hanya melayani masyarakat mengajarkan kitab kuning semata, ketika ada warga sakit kiyai bisa memberikan pertolongan dan memberikan pengobatan secara tradisional. Bahkan ada keluarga yang bertengkar pun kiyai bisa memberikan konseling keluarga. Artinya kehadiran kiayi memberikan manfaat yang komprehensif di tengah-tengah masyarakat karena memiliki kemampuan komprehensif pula bukan hanya di bidang agama saja tetapi bidang lainnya juga. (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Di pesantren modern dalam sistem pembelajarannya menerapkan pendekatan integratif yaitu tidak adanya dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum. Selain belajar Al Quran, Kitab-kitab dan ilmu agama lainya peserta didik pun belajar mata pelajaran lainnya atau pelajaran-pelajaran lainnya, sehingga dapat mengaitkan ilmu-ilmu agama dengan illmu umum atau dengan suasana kehidupan. Ada beberapa kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik seperti mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa, minimal dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab, sehingga mampu berkomunikasi dan membaca kitab-kitab atau teks berbahasa Arab. Selain itu, peserta didik mampu membaca dan memahami Al Quran, dan mengerti terjemahannya. Bisa menjalankan praktek ibadah dengan baik dan benar. Kemampuan lainnya adalah menguasai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti information and communikation technology (ICT). Dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki tersebut dapat memberikan bekal kepada peserta didik berupa perilaku yang berkualitas yaitu yang memiliki sains, ilmu pengetahuan dan teknologinya yang baik dan pemahaman dan pengamalan agama yang taat, baik, dan benar. (Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Ketika arus global sudah merambah masyarakat secara menyeluruh, pendidikan pesantren dituntut menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap, sehingga saat ini banyak pesantren selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah. (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Dalam pengembangan program pendidikan di pesantren ada hal-hal yang harus di perhatikan oleh pengelola pesantren, yaitu, munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para ustadz pembimbing. (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustadz. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua sebagaimana pesantren.
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa pada dasarnya fokus utama kurikulum dari sisi target materi hanya mengajarkan pada kitab-kitab kuning yang juga menjadi unsur yang melingkupi pesantren. Dari hal ini sebagai penguatan penempatan pesantren sebagai pusat peradaban muslim dalam pembelajarannya, penulis menggaris bawahi dari sisi materi ada beberapa bagian utama kurikulum pesantren yang dapat dikembangkan, yakni :.
a. Rumpun pendidikan agama Islam
Berisi berbagai pembelajaran dari al-Qur’an-hadits, aqidah, fiqih, sejarah peradaban Islam.
b. Rumpun pendidikan filsafat, logika, metode
Berisi berbagai pembelajaran penguatan kaidah-kaidah, konsep-konsep dasar yang membangun suatu ilmu.
c. Rumpun pendidikan eksak dan alam
Berisi berbagai pembelajaran pengetahuan matematis dan pengutan keilmuan manusia dan alam.
d. Rumpun pendidikan humaniora dan sosial
Berisi berbagai pembelajaran pengetahuan sosial antropologis dan kebudayaan, kesehatan, seni dan olahraga.
e. Rumpun pendidikan bahasa
Berisi berbagai pembelajaran tentang tata bahasa dan aplikasinya.
f. Program Pengembangan Diri
Berisi pembelajaran penguatan keberanian untuk mengmbangkan jati diri manusia sebagai makhluk yang dapat bermanfaat bagi sesamanya dalam bentuk aplikasi penguatan potensi bakat keilmuannya.
Dalam pengembangan kurikulum pesantren sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya harus berdasarkan orientasi pendidikan pesantren yang memiliki nilai-nilai keagamaan keIslaman dan berdasarkan semangat prinsip pengembangan keilmuan di pesantren yang bersifat keagamaan Islam. Untuk itulah motivasi yang dibangun dalam penyusunan kurikulum ini harus melandaskan pada arah pendidikan berupa paradigma sebagaimana yang telah ditawarkan.
Secara operasional pengembangan kurikulum ini dibagi dalam berbagai tingkatan yang berlaku menyeluruh setiap santri mendapatkan dan mempelajari pada tataran pemberian pengetahuan yang sifatnya aplikatif keagamaan dan dasar berbagai pengetahuan dan pemilihan penguasaan ilmu yang menjadi potensi dan movitasi mendalam ingin menguasainya.

B. Pengembangan Lembaga Riset and Development Keilmuan dan Ekonomi Terhadap Peningkatan Jiwa Entrepreneurship Santri
1. Pemikiran Islamisasi Keilmuan
Proses pengembangan lembaga riset and development keilmuan dan ekonomi merupakan suatu aksi dakwah bil hal dalam tataran membuahkan satu tempat dan forum sebagaimana dilakukan pada masa keemasan peradaban Islam. Dengan adanya tempat, lembaga, dan forum berbagai ahli berkumpul untuk menelaah, berfikir, bertafakur dan meneliti baik secara mandiri maupun perorangan tentang ayat-ayat Allah. Ide yang pertama dibawa adalah perintah dari Allah agar kita selalu membaca dan berfikir dari berbagai ayat-ayat Allah baik yang termaktub dalam teks al-Qur’an dan yang terpampang di alam semesta. Dalam melakukan proses ini pikiran dibebaskan dari belenggu berbagai paham dan doktrin serta dogma dan mazhab yang sudah melekat sehingga lahirlah berbagai disiplin ilmu dan penerus-penerus ulama yang berpengetahuan.
Seiring dengan berkembangnya zaman, ranah kebebasan berfikir telah didistorsi oleh yang namanya kepentingan kekuasaan politis dimana kekuasaan yang melingkupi dan masuk dalam satu komunitas menjadikan sponsor pada hasil keilmuan yang akan dikeluarkan dalam berbagai lini. Lebih parahnya lagi dalam perkembangan keilmuan selanjutnya terjadi satu buah pemikiran dikotomi keilmuan. Yakni ilmu wajib, ilmu sunah, ilmu makruh dan ilmu haram atau ilmu islam, ilmu non Islam serta ilmu agama dan ilmu umum. Inilah yang juga terjadi di kebanyakan pesantren pada awal perkembangannya dengan mengabaikan keilmuan yang sifatnya aplikatif perwujudan keinsanan berupa ilmu-ilmu eksak, seni dan bahasa. Awal perkembangan pesantren hanya mengajarkan pada keilmuan fiqh andsih yang sifatnya kesalehan individual dengan sumber kitab-kitab kuning bahkan hingga sekarang masih banyak juga pesantren yang terkotak-kotak pada pembagian keilmuan tadi walau telah banyak juga pesantren yang telah membuka diri memberikan materi keilmuan di luar kebiasaan yang berangkat dalam rangka mengembalikan jati diri keilmuan dari distorsi keilmuan.
Langkah pemberian materi inilah yang kemudian melahirkan pesantren-pesantren yang disebut pesantren modern. Langkah ini kian hari kian terasa bermanfaat bagi pesantren itu sendiri dan masyarakat sekitar dengan semakin beragamnya pengetahuan yang dapat diperoleh dari menempuh pendidikan di pesantren. Berbagai langkah yang ada seperti melakukan penggandaan pendidikan dari sekedar pendidikan agama tiap waktunya di rubah dengan perbaduan pelaksanaan pendidikan formal baik berbentuk madrasah tingkat dasar, menengah, atas hingga perguruan tinggi pada waktu siang hari dan penguatan pendidikan non formal berupa pendidikan keagamaan Islam pada waktu sore, malam hingga pagi harinya sebelum menempuh pendidikan formal.
Berbagai langkah tersebut telah mampu memposisikan pesantren lebih maju tidak sekedar sebagai menara gading yang gagah dari depan namun kosong dari kreatifitas ide dan pengabdian kemasyarakatan yang menyentuh masyarakat banyak berupa usaha pengentasan ketidakharmonisan kehidupan karena adanya ketimpangan ekonomi dan sosial. Namun mengapa peran-peran yang telah dilakukan tersebut belum begitu kuat gaungnya dalam memposisikan pesantren sebagai salah satu pusat peradaban Islam.
Kembali pada pembelajaran yang dilakukan pesantren. Hal ini jika dikaji lebih mendalam maka akan ditemukan sebuah akar permasalahan hal ini mengapa pesantren belum menjadi pusat peradaban Islam saat sekarang. Untuk itulah penulis memandang ide Islamisasi Pengetahuan yang telah digulirkan pada tahun-tahun sebelumnya perlu mendapat respon kalangan pesantren.
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemology prespektif sufi..
Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiolog, makna serta ungkapan sekuler. (Rahimah, 2003).
Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa adalah fakultas pemahaman yang mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dsb. Manakala kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan kata-kata secara langsung oleh Tuhan kepada manusia dan manakala sebagaimana pola Tuhan dalam penciptaan atau "hukum alam". Dan bila kita kaitkan dengan prinsip telelogi artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud. Pemenuhan karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat. (Rahimah, 2003).
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan. (Rahimah, 2003).
Prinsip kedua yaitu tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skepetisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki menandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pemah dapat diketahui. (Rahimah, 2003).
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hati intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu' alam karena ilia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun. (Rahimah, 2003).
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. (Al-Faruqi, 1986). Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses sukurelisasi yang berobsesi memisahkan kegiatan sekuler dengan kegiatan agama akhirnya mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagaaman. (Rahimah, 2003).
Semangat ilmuan moderen (Barat) adalah bahwa di bangun dengan faktafakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilai-nilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian muncul, ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika. (Rahimah, 2003).
Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. (Rahimah, 2003).
Menurut AI- sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Faruqi (Al-Faruqi, 1986). Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan menentukan presepsi dan susunan realita. (Rahimah, 2003).
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi (Al-Faruqi, 1986), menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
a. Menguasai disiplin-disiplin modern
b. Menguasai khazanah Islam
c. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan Modern
d. Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen.
e. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan: Tugas petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang dekuler. (Rahimah, 2003).
Dengan perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistim Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistim Islam. (Al-Faruqi, 1986). Al-Faruqi dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah.
Bagi AI-Faruqi (Al-Faruqi, 1986), Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah sains, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmuilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c. Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalahmasalah masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasilhasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernyaharus dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan. (Rahimah, 2003).
Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam.
Pendapat yang tidak kalah pentingnya yang berkenaan dengan proses islamisasi adalah menurut S.A.Ashraf, para ilmuan masa kini selayaknya menyadari bahwa pengembangan kegiatan ilmuan Islam yang ideal harus didasarkan pada sejumlah asumsi dasar sebagai berikut ini:
"Pertama konsep tentang manusia menurut agama Islam sangat lengkap dan lebih baik dari konsep tentang manusia lainnya. Menurut ajaran Islam manusia berkemungkinan untuk menjadi Khalifullah dengan cara menanamkan dan mengamalkan beberapa sifat Tuhan. Oleh karena semua dimensi sifat Tuhan itu tidak terbatas, maka pengembangan aspek moral, spritual dan intelektual manusiapun tidak terbatas. Kedua, oleh karena pengetahuan merupakan kunci kemajuan dan pengembangan tersebut. Maka Islam tidak menghalangi upaya untuk menuntut pengetahuan. Ketiga, pengembangan tersebut harus bersifat menyeluruh mendayagunakan potensi intelektual, pengembangan yang tidak menyeluruh akan menimbulkan ketidakseimbangan. Keempat, aspek spritual, moral, intelektual, imaginative emosional dan fisikal manusia harus diperhatikan dalam upaya pengkaitan berbagai disiplin ilmu. Kelima, pengembangan kepribadian manusia harus dilakukan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam Oleh karena itu, penataan disiplin ilmu dan penyusunan pokok batasan harus dirancang dengan mempertimbangkan manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk yang harus hidup berdampingan secara damai dengan alam".
Pendapat di atas sangat menarik untuk direalisasikan alam rangka Islamisasi ilmu pengetahuan. Memang terdapat banyak kelemahan struktural dalam pengembangan ilmu dikalangan masyarakat muslim dewasa ini, semua kelemahan tersebut perlu diperbaiki oleh para perancangnya. Para ilmuan muslim menyadari bahwa pengetahuan Barat itu buruk dan pengetahuan Islam itu baik. Tetapi terlalu sedikit analisis terhadap kemampuan dan karya sendiri.
Peran inilah yang perlu diambil kalangan pesantren untuk mengembalikan kembali semangat keilmuan para ulama. Langkah yang pasti adalah dengan membuka diri seluas-luasnya pada khitah pemikiran yang merdeka tidak terbelenggu pada dikhotomi keilmuan dan ketidaksetaraan ulama yang ada sekarang dengan ulama dahulu. Apalagi jika penyakit dogmatis ini diajarkan pada santri yang mempunyai potensi ingin tahu segala pengetahuan yang masih menjadi misteri bagi dirinya akan menjadikan kejumudan yang terus melegenda di kalangan umat Islam. Selamanya pembaharuan dan tajdid menjadi barang yang sangat sakral, tidak semua orang memiliki hak untuk mengkaji pemikiran yang sudah ada dikarenakan ketimpangan ilmu yang dimiliki.
Hal ini yang harus dirombak dari pemikiran ulama serta pengambil kebijakan di kalangan pesantren bahwa pada dasarnya hasil pemikiran siapapun dalam bidang apapun berhak dikaji dan ditelaah ulang untuk dikritisi dan dikembangkan ataupun diganti bila memang tidak sesuai. Sebab hasil pemikiran manusia bisa saja mengalami distori dan kesalahan atau ketidaktepatan antar konsep pemikiran satu dengan lainnya. Jadi tidak ada salah dan dosanya serta larangan bagi siapa saja untuk melakukan pemikiran ulang dari pemikiran yang sudah ada, bahkan dalam berbagai firman-Nya, Allah senantiasa memerintahkan manusia untuk memikirkan berbagai hal dari ayat-ayat-Nya agar manusia semakin memahami dan yakin akan suatu kebenaran yang diyakininya.
Berpijak dari logika pemikiran inilah, tidak ada salahnya pesantren mengmbangkan berbagai forum diskusi yang dilakukan untuk mengkaji apa yang sudah dipelajari. Forum ini diharapkan dapat memberikan satu pandangan bahwa pintu ijtihad masih senantiasa terbuka. Kajian yang dilakukan pun tidak sebatas pada khasanah keilmuan agama yang terkumpul dalam kitab-kitab kuning, namun dikembangkan pada kitab-kitab keilmuan Islam lainnya baik keilmuan eksak/sains, bahasa dan logika bahkan bisa juga langsung mengkaji dari makna sumber langsung ayat-ayat Allah baik yang tertulis di al-Qur’an maupun yang berupa fenomena alam.
Pengembangan forum ini telah menjadi pilar tonggak kejayaan umat Islam pada pertengahan abad 13-15 sehingga diharapkan dengan pengembangan ini di pesantren dapat menjadikan kelembagaan pesantren lebih hidup dan terasa peranannya dalam khasanah keilmuan Islam hingga dapat menjadi pusat peradaban muslim. Untuk itulah semangat Islamisasi pengetahuan yang dibawa ke pesantren adalah mengembangkan pesantren tidak sekedar mengajarkan dan membelajarkan satri dengan fokus pada kitab-kitab kuning persoalan fiqh namun juga membelajarkan pada upaya pengkajian apa yang sudah diterima.
Wujud aplikasi dari kegiatan Islamisasi pengetahuan di pesantren ini dengan memberikan satu lembaga atau tempat berkumpul dan berdialog bagi para ulama dan santri tentang berbagai hal keilmuan. Lembaga yang ada ini bisa berupa pengembangan kelembagaan riset and development keilmuan. Pengembangannya pun tidak perlu membatasi diri hanya khusus kalangan pesantren, bisa melibatkan unsure-unsur masyarakat luas baik secara individu maupun kelompok atau lembaga masyarakat yang ada.
2. Pengembangan Kelembagaan Riset and Development Keilmuan
Tindak lanjut dari langkah Islamisasi adalah pembentukan kelembagaan ini. Agenda ini untuk penguatan basis intelektualitas dan entrepreneurship santri mutlak diperlukan guna membangun masa depan bangsa yang cerah. Selain itu, jika dipahami dengan logika mafhum mukhalafah,agenda tersebut juga berarti bahwa selama ini santri kurang mampu untuk tidak dikatakan tidak mampu- mengambil prakarsa dalam memperkuat bangsa dengan basis intelektualitas dan entrepreneurship.
Tindakan ini dalam rangka mengembangkan jiwa entrepreneurship santri dalam bidang keilmuan yang dapat mengambil peran-peran strategis dalam dinamika intelektualitas bangsa ini. Tindakan ini dapat mewarnai pemikiran keagamaan serta mampu menelurkan gagasan-gagasan ke-Islam-an yang orisinil dan pembaharuan pemikiran keagamaan.
Dengan adanya kelembagaan riset and development keilmuan santri diharapkan memiliki kemampuan metolodologis sebagai prasyarat memasuki iklim ilmiah. Penguatan ilmu-ilmu metodologis menjadi sangat signifikan dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Ibarat ingin belajar membaca kitab gundul, mutlak terlebih dahulu harus menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Memasuki iklim ilmiah berbasis intelektualitas tanpa penguasaan terhadap aspek metodologis, laiknya membaca kitab gundul tanpa ilmu nahwu-sharaf, cenderung gagap dan tersendat-sendat.
Dengan penguasaan aspek metodologis menjadikan santri dapat melakukan penelitian-penelitian ilmiah sehingga dapat melakukan kajian di lingkungan santri dan pesantren. Selain menjadi ukuran mutlak basis intelektualitas, penelitian-penelitian semacam itu sejatinya sangat urgen bagi progresivitas santri dan pesantren di Indonesia. Riset tentang agama, santri dan pesantren bisa jadi lebih relevan dilakukan oleh kalangan santri sendiri dibanding peneliti non-santri. Karena jika santri mampu dan mau melakukan penelitian tentang objek-objek penelitian tersebut, maka akan lebih bisa melibatkan kesadaran fenomenologis.
Pengkajian dan penelitian yang didasarkan pada kesadaran metodologis, akan menghasilkan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inilah dengan pengembangan lembaga riset and development keilmuan di pesantren akan menjadikan kalangan santri dan pesantren dapat mengikuti perkembangan-perkembangan tradisi pemikiran keagamaan dewasa ini sehingga tidak akan terjadi kesenjangan paradigmatik antara santri dan masyarakat ilmiah lainnya serta pesantren dapat tumbuh menjadi pusat peradaban keilmuan.
Proses perubahan akan terjadi dalam sebuah komunitas pesantren jika di dalamnya telah muncul figur-figur kiai yang berpikiran maju, terbuka, kritis terhadap berbagai pandangan, keyakinan dan bangunan nilai-nilai lama. Seorang kiai pesantren dapat disebut berpikiran maju jika ia didukung dengan penguasaan perangkat ilmu-ilmu fiqh, berani mengkritisi pikiran imam mazjan misalnya terhadap metodologi imam Syafi’I yang menekankan qiyas dengan pencarian illat dalam masalah-masalah yang tidak ditegaskan oleh nash yang implikasinya kurang menekankan maslahah. Sebaliknya, ia menempatkan kepentingan umum (maslahah ‘aamah) sebagai pertimbangan terdepan dalam proses pengambilan hukum. (Zubaedi, 2007).
Komitmen dan semangat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai fiqih sosial dalam rangka mengembangkan dan memecahkan problem emperik umat Islam selayaknya dimiliki pula oleh para pimpinan pondok pesantren. Para kiai, ustad, santri dan alumninya kian dituntut memberikan kontribusi baik di bidang pemikiran maupun aksi-aksi nyata dalam ikut memecahkan problem sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan kerusakan lingkungan. (Zubaedi, 2007).
Keterbukaan inilah yang akan membawa pesantren menjadi basis intelektualitas. Saat ini, pesantren sudah harus lebih inklusif untuk dapat mengikuti perkembangan penelitian dan pemikiran keagamaan. Untuk sampai pada tujuan itu, sudah seharusnya dalam kurikulum pesantren dimasukkan juga pelajaran-pelajaran tentang metodologi penelitian dan standar-standar berfikir ilmiah. Ke depan, pesantren-pesantren inklusif inilah yang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Dengan menjadi inklusif, santri akan mampu mengambil prakarsa untuk melakukan pengembangan pemikiran keagamaan melalui penelitian-penelitian ilmiah.
3. Pengembangan Kelembagaan Kegiatan Ekonomi
Dalam bidang entrepeneurship berkaitan ekonomi perlu ada pengembangan lebih lanjut. Meski sudah banyak pesantren yang mengembangkan pola entrepreneurship, namun masih belum banyak santri maupun alumni santri yang mampu merintis, lebih-lebih mengembangkan kerajaan bisnis. Tidak mengherankan jika kemudian jarang kita dengar kisah pengusaha atau pebisnis sukses dari kalangan santri.
Secara lebih spesifik penulis menggarisbawah bahwa penyakit kebanyakan pesantren hingga saat ini adalah keenggannanya dalam usaha aplikatif pemberian peranan lebih pada santrinya untuk senatiasa melakukan usaha berupa kesempatan berwirausaha atau berwiraswasta. Sebagaimana lembaga pendidikan formal lainnya, kebanyakan para pendidik di pesantren mengarahkan santrinya untuk mencari pekerjaan sebagai tenaga di kantoran dan lain sebagainya. Untuk itu berangkat dari pemikiran di atas perlu ada satu perombakan pemikiran dari para pendidik termasuk di kalangan pesantren agar memberikan warna pada santrinya untuk selalu berusaha mandiri, menciptakan lapangan pekerjaan sendiri bahkan mengajak orang lain untuk mandiri dan berusaha bersama menciptakan pekerjaan dan lapangan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang banyak.
Menurut Kiai Sahal pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dapat berperan memajukan desa melalui program-program kemasyarakatan secara konkret. Pesantren seharusnya tidak hanya dapat mewarnai, namun sanggup membentuk masyarakat. (Zubaedi, 2007).
Cita-cita agar pondok pesantren ikut terlibat dalam kegiatan pengembangan masyarakat akhirnya menodorong Kiai Sahal dan beberapa santri senior untuk meningkatkan fungsi sosial Pesantren Maslakul Huda Kajen dengan mendirikan Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) pada tahun 1980. Berdirinya BPPM di dorong oleh tiga hal. Pertama, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan sosial dirasakan banyak pihak memiliki potensi besar untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat. Kedaa, institusi pesantren adalah institusi potensial yang dapat dikembangan lebih lanjut. Ketiga, usaha ini perlu dikembangkan sambil terus melakukan upaya pembenahan terhadap masalah utama yang dihadapi pesantren baik yang bersifat internal maupun eksternal. (Zubaedi, 2007).
Dalam memerankan fungsi tersebut, diterapkan terobosan visi dan aksi yang dikenal dengan kanalisasi. Menurut Kiai Sahal Mahfudz, kanalisasi artinya terlibat namun tidak hanyut. Sebagai kanal, maka pesantren pada prinsipnya menjalankan fungsi keperantaraan dan melakukan berbagai bentuk terobosan dan pendobrakan. (Zubaedi, 2007)
Berpijak pada fakta di lapangan dapat diidentifikasi bahwa ikhtiar Kiai Sahal dalam mengonseptualisasi fiqh sosial dan mengaktualisasikan nilai-nilai fiqh sosial dalam kegiatan pengembangan masyarakat melalui Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) di sejumlah tempat sedikit banyak telah membawa implikasi bagi perubahan nilai-nilai pesantren dalm komunitas Pesantren Maslakul Huda…. Jika diklasifikasikan, perubahan nilai itu menyentuh empat ranah : Pertama, perubahan dari pemahaman fiqh yang Syafi’I minded menjadi . ditandai dengan kemunculan ide fiqh sosial oleh Kiai Sahal Mahfud. Kedua, Perubahan dari kecenderungan pemahaman sufi yang sempit atau sufistik vertical yang fatalis-eksklusif menjadi penekanan sufisme horisontal yang dinamis-mobile. Ketiga, perubahan dari orientasi kesalehan individual yang berlebihan menjadi pentingnya kesalehan sosial atau kemaslahatan umum. Keetmpat, perubahan dari penekanan da’wah bil maqal menjadi da’wah bil-hal. Dengan perubahan-perubahan ini akhirnya menjadikan komunitas Pesantren lingkungan Kajen dan sekitarnya memiliki pemahaman positif soal maslahah, fardu kifayah, dakwah, sufisme, kesalehan, pembangunan masyarakat dan persoalan fiqh sosial lainnya. (Zubaedi, 2007).
Berangkat dari deskripsi di atas, tema yang dijadikan kajian dalam penulisan ini adalah menyangkut konsep fiqh sosial Kiai Sahal sebagai representasi dari dialektika antara nilai-nilai keagamaan (fiqh) dengan beraneka problem emperik masyarakat.
Pesantren merupakan salah satu model dari pendidikan berbasis masyarakat. Kebanyakan pesantren berdiri atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Pesantren dengan cara hidupnya yang bersifat kolektif barangkali merupakan perwajahan atau cerminan dari semangat dan tradisi dan lembaga gotong royong yang umum terdapat di pedesaan. Nilai-nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (kerja sama), jihad (berjuang), taat, sederhana, mandiri, ikhlas dan berbagai nilai eksplisit dari ajaran Islam lain yang mentradisi di pesantren ikut mendukung kelestariannya. (Zubaedi, 2007).
Harapannya adalah agar para santri tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi juga ilmu umum dan, dengan demikian, dapat melakukan mobilitas pendidikan dan santri memiliki ketrampilan, keahlian atau lifeskills–khususnya dalam bidang-bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan cirri masa globalisasi sehingga memiliki dasar-dasar “competitive advantage” dalam lapangan kerja sebagaimana dituntut di alam globalisasi.
Dalam rangka meningkatkan kemandirian pesantren dalam perannya untuk kemaslahatan umat dan kesejahteraan masyarakat sedikitnya ada tiga hal yang harus dimiliki oleh pesantren;
Pertama, adalah pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia di pesantren bukan hanya kepada pengurus, ustadz, atau kiyainya saja tetapi juga kepada para santrinya. Tentu saja dalam bidang-bidang yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Sebagai pengelola pesantren perlu mengerti bagaimana mengatur dan mengelola struktur organisasi/lembaga pendidikan yang bagus. Kegiatan mengelola ini sifatnya sederhana tetapi jika tidak mengikuti konsep-konsep ilmu pengetahuan yang baik, hasilnya belum tentu bagus. Kegiatan pengelolaan/manajemen ini tidak ada pertentangan dengan ajaran Islam. Mengelola itu dimulai dengan perencanaan, kemudian siapa pelakunya dan apa yang dilakukannya. Karena tidak semua melakukannya. Alat apa yang digunakan sebagai alat bantu dan bagaimana memanfaatkan alat-alat tersebut, inilah kegiatan pelaksanaan. Kemudian pelaksanaan ini tidak dibiarkan begitu saja tetapi diawasi/dikontrol. Kalau ada yang menyimpanag dalam kegiatan itu harus diluruskan lalu dievaluasi. Jadi konsep mengelola ini sangat sederhana dan tidak ada pertentangan dengan ajaran Islam.
Kedua, lembaga pesantren harus ditata. Pesantren harus bisa mengantisipasi faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan masyarakat, seperti masyarakat membutuhkan orang-orang yang menguasai ajaran-ajaran agama Islam. Masyarakat pun membutuhkan orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan berkembang semakin pesat sesuai dengan perkembangan jaman yang sekarang ini disebut jaman atau era globalisasi.
Oleh karena itu pesantren melakukan penataan agar santri lulusannya mampu menguasai kebutuhan masyarakat tersebut yaitu orang yang menguasai ajaran-ajaran Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mewujudkan santri seperti itu maka setidaknya mereka harus memiliki enam keterampilan yaitu; Kesatu, menguasai atau mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi lisan atau tulisan, terutama menggunakan bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab, sehingga memperluas wawasan dan memudahkan melakukan interaksi dengan dunia global. Kedua, santri harus bisa menguasai ilmu-ilmu keislaman secara teorinya agar memiliki pemahaman tentang Islam yang kuat, teguh dan benar. Ketiga, santri menguasai ilmu-ilmu keislaman secara prakteknya agar dapat diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Keempat, santri harus bisa membaca Al Quran dengan fasih dan memahami isinya minimal mengerti terjemahan atau artinya, karena di dalam Al Quran tersebut terdapat semua hal yang dibutuhkan oleh manusia. Namun jika Al Quran itu tidak dikaji, maka susah untuk menemukan makna kandungan Kitab suci tersebut. Kelima, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Jika santrinya gagap teknologi maka sulit untuk memanfaatkan potensi alam yang diciptakan untuk kemakmuran manusia ini. Keenam, menguasai teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT), sehingga menambah dan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan tanpa dibatasi tempat dan waktu, baik ilmu umum atau ilmu keagamaan. Santri-santri seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa ini untuk membangun dan mengubah Indonesia menjadi negara yang mandiri tidak tergantung bantuan negara asing, sejahtera, adil, dan makmur. Mereka mampu memberdayakan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk kepentingan manusia yang banyak dilandasi dengan akhlak mulia sebagai bagian manusia rahmatan lil ‘alamiin, manusia yang menjadi rahmat bagi alam ini. Pada akhirnya pembangunan nasional dan hasil-hasilnya nanti selalu mendapatkan limpahan rahmat dan barokah dari Allah swt.
Ketiga, peningkatan kemandirian dengan melakukan upaya-upaya mencari dana melalui berbagai kegiatan seperti agribisnis, peternakan, perdagangan, koperasi, dan sebagainya, baik yang ada di lingkungan pesantren maupun di lingkungan sekitarnya. Kegiatan ini sangat berguna bagi santri tidak hanya ketika tinggal di pesantren, tetapi juga dalam kehidupan sebenarnya ketika mereka terjun di masyarakat. Kegiatan ini memberikan jiwa dan semangat kemandirian kepada santri untuk berwirausaha atau entrepreneurship yang mempersiapkan santri menjadi entrepreneur. Entrepreneurship dalam proses pendidikannya membekali santri dengan berbagai macam keterampilan (work skill) atau keterampilan hidup yang bisa memberikan bekal yang bermanfaat untuk menghidupi dirinya sendiri dengan tidak bergantung kepada orang lain. Dengan keterampilan kerja ini diharapkan santri mampu menciptakan lapangan kerja sendiri yang dapat melibatkan banyak orang untuk bekerja. Itulah salah satu hikmah dari hadits Rasulullah saw. bahwa manusia yang baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Pada akhirnya, langsung atau tidak langsung pesantren dan santrinya memberikan kontribusi yang besar dalam proses pendidikan dan pembangunan nasional karena entrepreneurship ini merupakan salah satu tulang punggung perekonomian suatu bangsa. Entrepreneurship tersebut dapat menyerap tenaga kerja yang banyak untuk mengurangi atau menghilangkan pengangguran atau kemiskinan yang masih cukup tinggi akibat krisis ekonomi yang masih belum bisa diatasi secara keseluruhan. Dengan memiliki jiwa dan semangat entrepreneurship menyebabnya adanya human capital atau kemampuan sumber daya manusia yang menjadi pondasi perekonomian negara yang kuat.
Selain itu, pendidikan harus dibedakan dari sekadar lembaga kursus. Lembaga pendidikan, apalagi perguruan tinggi, harus mampu mengantarkan peserta didik menjadi cerdas, dan bukan sekadar terampil. Lembaga pendidikan jangan sampai direduksi menjadi lembaga yang berorientasi semata kepada pembangunan manusia terampil secara teknis, tetapi kering dan lembek dari kecerdasan. Pendidikan pesantren, salah satu titik lebihnya, adalah mampu memerankan diri menjadi lembaga pendidikan yang mencerdaskan itu. Untuk itu, ke depan semestinya bukan saja pesantren melainkan juga lembaga pendidikan modern perlu dikembalikan pada posisi strategisnya, yakni mengantarkan peserta didik menjadi cerdas sekaligus berakhlak luhur, selain juga terampil.
Mengadaptasi pesantren dengan perkembangan global yang penuh dengan muatan ilmu dan teknologi bukanlah terlalu sulit. Sebab pesantren memiliki kekuatan adaptif yang cukup tinggi. Pengembangan pesanren dengan membuka program pendidikan umum, seperti kemudian adanya sekolah umum di pesantren, perguruan tinggi masuk pesantren, ketrampilan masuk pesantren, kursus-kursus dan seterusnya merupakan cara pesantren dalam beradaptasi dengan tantangan dan tuntutan dunia luar. Hasilnya cukup menarik. Di beberapa tempat, pesantren juga menyelenggarakan sekolah unggulan dan profesi tertentu yang dibutuhkan masyarakat. Persoalan yang dihadapi pesantren terkait dengan sifat kemandiriannya itu. Tidak pernah ada pesantren yang para guru, pendanaan dan daya dukung lalinnya menunggu dibantu oleh pemerintah. Dan tidak ada pesantren yang memperoleh DIPA sebagaimana lembaga pendidikan pemerintah pada umumnya. Dan tanpa itu pun ternyata sebagian pesantren dapat survive. Oleh karena itu, jika pesantren diharap dapat maju bersama, maka perlu diberlakukan sama, setidak-tidaknya dibantu dalam memenuhi kebutuhannya.
Tugas pokok yang dipikul pondok pesanten selama ini pada esensinya adalah mewujudkan manusia dan masyarakat muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, dalam kaitan ini secara lebih khusus lagi, pondok pesantren bahkan diharapkan berfungsi lebih dari pada itu; ia diharapkan agar memikul tugas yang tak kalah pentingnya, yakni melakukan reproduksi ulama’. Dengan kualitas keislaman, keimanan, keilmuan dan akhlaknya, para santri diharapkan mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Di sini, para santri diharapkan dapat memainkan fungsi ulama; dan pengakuan terhadap keulamaan mereka biasanya pelan-pelan tapi pasti datang dari masyarakat. Selain itu juga pondok pesantren juga bertujuan untuk menciptakan manusia Muslim mandiri-- dan ini kultur pondok pesantren yang cukup menonjol yang mempunyai swakarya dan swadaya.
Dengan pengembangan berbagai kegiatan pembelajaran kemandirian dan pembentukan kelembagaan ekonomi di pesantren yang berdasar pada kepentingan dan pengembangan potensi santri akan memberikan kontribusi pada upaya pengembangan pondok sebagai pusat peradaban Islam. Diharapkan kedepannya akan lahir para pebisnis dari kalangan santri yang melakukan eksistensinya di dunia perdagangan. Jadi tidak selamanya para lulusan pesantren itu hanya menjadi da’I menunggu panggilan dari seseorang yang mempunyai hajatan namun para lulusan pesantren adalah mereka yang siap menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukan aksi usaha bersama.
Bertolak dari pemikiran pengembangan lembaga ekonomi inilah nantinya akan melahirkan generasi-generasi yang tangguh dan pemberani dalam menghadapi derasnya arus persaingan usaha dan bisnis yang tidak mengenal kompromi. Pembelajaran yang telah diterimanya selama menempuh pendidikan di pesantren akan menjadikan satu pengalaman di kehidupan masyarakat lebih luas. Terlebih lagi jika pesantren secara intitusional dapat menjalin kerjasama dengan santri-santrinya dalam mengenalkan produk hasil karya pesantren seperti penyaluran kitab-kitab, buku-buku hasil kajian yang dilakukan dari kegiatan riset and development keilmuan ataupun produk-produk teknologi lainnya.
Sebenarnya dengan aktivitas lulusan santri yang menjadi ustad dan berkembang menjadi kiai yang senantiasa mengisi dakwah menjadi bagian aktivitas entrepreneur. Namun hal ini sebagaimana dijelaskan bab sebelumnya entrepreneur yang baik adalah entrepreneur sosial dan organik yang tidak sekedar dirinya yang sukses namun orang lain juga sukses dan mampu mengajak orang lain untuk sukses bersama dalam kehidupan dunia dan akhirat. Jadi tidak sekedar “simatupang” (siang malam tunggu panggilan) namun motivator, mediaotor bahkan penggerak sebagaimana dilakukan ulama-ulama dahulu yang hidupnya tidak tergantung pada panggilan orang karena kemampuannya berdakwah namun lebih utama pada hasil jerih payahnya baik sebagai pedagang maupun sebagai pembuat karya barang.
Semangat jiwa entrepreneur yang ditanamkan ke santri dengan berbagai langkah sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya akan menjadi movitasi bagi santri untuk berani melangkah. Dukungan yang senantiasa dilakukan pembina di pesantren, lebih-lebih dari sang kiai kharismatik yang menjadi pijakan santri dalam melangkah akan menjadikan santri untuk mengikuti dan turut restu kiai. Maka akan menjadikan pesantren itu sebagai pusat peradaban muslim yang melahirkan generasi pemberani dalam berentrepreneurship.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar